Selasa, 20 Desember 2016



“Biarkan Kami Tertindas”

-Tyas Artma (Komisariat Tribakti)
Sepanjang jalan antara gerbang utama hingga batas lingkup bangunan besar nan luas nampak berlalu lalang laki - laki bersarung nan berpeci, ada yang membawa beberapa keresek hitam berisi makanan, ada yang baru datang dari suatu tempat layaknya para musafir zaman dahulu yang ber-tas-kan sarung tidak lain isinya didominasi oleh pakaian, ada lagi yang lebih menarik yakni membawa kitab kecil bernama nadzom imriti yang dibacanya sambil berjalan, duduk, atau bahkan sambil makan gorengan yang dibelinya dipinggir jalan, dan ada pula yang sengaja bersikap jail mencoret – coret tulisan “BATAS AREA SANTRI” dengan menambahkan kata “TANPA” di depan kata “BATAS” sehingga tulisan tersebut menjadi politisasi jika mereka akan dikenakan hukuman atas batas area yang  dilanggarnya, atau mungkin hanya sebatas ekspresi belaka bahwa mereka sangat butuh tentang sebuah kebebasan?
Mereka adalah para pemuda yang beberapa puluh tahun lalu dari kemerdekaan Indonesia ini statusnya dibanggakan sebagai generasi penegak moral sejati, penerus kepemimpinan sejati yang adil dan  amanah serta jujur. Terbukti dengan beberapa tokoh kyai dan para santri yang ikut serta angkat senjata dalam pembebasan negri Indonesia dari penjajahan jahanam oleh orang – orang kafir terutama oleh manusia negri kincir angin yang begitu rakus melahap hidangan kekayaan bangsa Indonesia. Sekarang pun bangunan bangunan yang disebut pesantren itu tetap eksis dan menjamur diberbagai tanah air negri ini dari bangunan yang megah mewah, biasa disebut pesantren modern hingga pesantren yang masih mempertahankan kesederhanaan dari berbagai segi, biasa disebut pesantren salaf.
Sebentar! Tidakkah kalian ingin menengok sebentar saja, atau mengintip sedikit dari celah lubang dinding tempat santri putri beriktikaf, bertafakkur, bertafakhuh fiddin, dan memperbaiki diri yang katanya agar mendapat laki – laki soleh? Tidakkah kalian berkeinginan untuk menyelidiki dibalik cerita cerita bahagia mereka saat pulang liburan dari pesantren bahwa mereka disana banyak teman, banyak memperoleh ilmu, banyak menemukan ketentraman – ketentraman yang sebenarnya terbesit kepalsuan dan pemberontakan hati?
Tidakkah kalian selama ini berfikir kenapa hanya santri putra yang diperbolehkan menampakan diri dengan bebas? Tidak bolehkah perempuan yang bergelar santri untuk mendaki kata emansipasi gender? Tidakkah, tidakkah, dan akankah terus “tidak” pada setiap gerak perempuan yang akan menuju pada langkah kebebasan? Terutama dalam proses bereksistensi diruang publik.
Paulo Freire mengkritik pendidikan pesantren yang selama ini disebut sebagai pendidikan terbaik ternyata menjadi penindas ulung. Pendidikan  yang selama ini dipercaya menjadi penegak moral bangsa ternyata menjadi pengekang kebebebasan. Terutama pada para perempuan yang biasa disebut santri putri. Sangat hebat sekali pengekangan yang dilakukan bahkan suaranya pun terbungkam rapat disana, unjuk diri adalah keharaman menurut mereka. Mereka para santri putri hanya bertugas untuk mengkaji doktrin – doktrin ajaran islam dengan mendalam hingga pada akhirnya akan terjadi kesubordinasian yang jelas tampak pada aktifitas – aktifitasnya dimana santri putri selalu menjadi nomor dua setelah santri putra. Kemudian tak luput pula merambah pada masa depan para perempuan alumni pesantren itu yakni berujung pada domestifikasi sebagai implementasi yang akan berbuah kebahagiaan dalam tanda kutip adalah keberkahan. Doktrin – doktrin pesantren begitu kuat menghegemoni para perempuan yang bergelar santri ditempat tersebut, ditambah dengan keharusan menyebarkan pengetahuan yang didapatkannya sebagai bentuk petunjuk pada orang – orang yang belum mengetahui sehingga menjadi sesuatu yang dianggapnya akan bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang yang telah diberinya petunjuk tersebut.
Seberapa kuat pun para pakar kebebasan, para pakar gender, para pakar feminisme mengkritik habis segala bentuk ketimpangan gender yang terjadi didalam kehidupan pesantren sepertinya tidak akan mampu memporak – porandan tatanan kehidupan pesantren yang selalu mensubordinasi perempuannya, doktrin pesantren telah mengakar kuat dan mendarah daging didalam jiwa para murid – muridnya yang begitu ta’dhim. Menurutnya ini semua adalah suatu yang tidak boleh ditentang sebagaimana kaum konservatif, dimana hal tersebut sudah menjadi suratan takdir bahwa laki – laki akan selalu menjadi nomor satu sedangkan perempuan akan menjadi pendamping yang berjuang mati – matian dalam sebuah bius penindasan yang terbungkus oleh doktrin yang akan terhadiahi sebuah “kebarokahan”. Singkat kata, pesantren merupakan bentuk ketimpangan luar biasa menurut orang – orang yang tak sependapat dengan sistem pesantren, sedangkan pesantren merupakan bentuk konstruksi sosial yang paling adil  bagi mereka yang sependapat dengan sistem pesantren. Masing – masing kedua belah pihak tersebut mempunyai dalil yang kuat untuk saling menumpaskan dua konsep yang saling bertentangan ini.