“Biarkan Kami Tertindas”
-Tyas Artma (Komisariat Tribakti)
Sepanjang jalan antara gerbang utama hingga batas lingkup bangunan
besar nan luas nampak berlalu lalang laki - laki bersarung nan berpeci, ada
yang membawa beberapa keresek hitam berisi makanan, ada yang baru datang dari
suatu tempat layaknya para musafir zaman dahulu yang ber-tas-kan sarung tidak
lain isinya didominasi oleh pakaian, ada lagi yang lebih menarik yakni membawa
kitab kecil bernama nadzom imriti yang dibacanya sambil berjalan, duduk,
atau bahkan sambil makan gorengan yang dibelinya dipinggir jalan, dan ada pula
yang sengaja bersikap jail mencoret – coret tulisan “BATAS AREA SANTRI” dengan
menambahkan kata “TANPA” di depan kata “BATAS” sehingga tulisan tersebut
menjadi politisasi jika mereka akan dikenakan hukuman atas batas area yang dilanggarnya, atau mungkin hanya sebatas
ekspresi belaka bahwa mereka sangat butuh tentang sebuah kebebasan?
Mereka adalah para pemuda yang beberapa puluh tahun lalu dari
kemerdekaan Indonesia ini statusnya dibanggakan sebagai generasi penegak moral
sejati, penerus kepemimpinan sejati yang adil dan amanah serta jujur. Terbukti dengan beberapa
tokoh kyai dan para santri yang ikut serta angkat senjata dalam pembebasan
negri Indonesia dari penjajahan jahanam oleh orang – orang kafir terutama oleh manusia
negri kincir angin yang begitu rakus melahap hidangan kekayaan bangsa
Indonesia. Sekarang pun bangunan bangunan yang disebut pesantren itu tetap
eksis dan menjamur diberbagai tanah air negri ini dari bangunan yang megah
mewah, biasa disebut pesantren modern hingga pesantren yang masih
mempertahankan kesederhanaan dari berbagai segi, biasa disebut pesantren salaf.
Sebentar! Tidakkah kalian ingin menengok sebentar saja, atau
mengintip sedikit dari celah lubang dinding tempat santri putri beriktikaf,
bertafakkur, bertafakhuh fiddin, dan memperbaiki diri yang katanya agar
mendapat laki – laki soleh? Tidakkah kalian berkeinginan untuk menyelidiki dibalik
cerita cerita bahagia mereka saat pulang liburan dari pesantren bahwa mereka
disana banyak teman, banyak memperoleh ilmu, banyak menemukan ketentraman –
ketentraman yang sebenarnya terbesit kepalsuan dan pemberontakan hati?
Tidakkah kalian selama ini berfikir kenapa hanya santri putra yang diperbolehkan menampakan diri dengan bebas? Tidak bolehkah perempuan yang bergelar santri untuk mendaki kata emansipasi gender? Tidakkah, tidakkah, dan akankah terus “tidak” pada setiap gerak perempuan yang akan menuju pada langkah kebebasan? Terutama dalam proses bereksistensi diruang publik.
Tidakkah kalian selama ini berfikir kenapa hanya santri putra yang diperbolehkan menampakan diri dengan bebas? Tidak bolehkah perempuan yang bergelar santri untuk mendaki kata emansipasi gender? Tidakkah, tidakkah, dan akankah terus “tidak” pada setiap gerak perempuan yang akan menuju pada langkah kebebasan? Terutama dalam proses bereksistensi diruang publik.
Paulo Freire mengkritik pendidikan pesantren
yang selama ini disebut sebagai pendidikan terbaik ternyata menjadi penindas ulung.
Pendidikan yang selama ini dipercaya menjadi penegak moral bangsa
ternyata menjadi pengekang kebebebasan. Terutama pada para perempuan yang biasa
disebut santri putri. Sangat hebat sekali pengekangan yang dilakukan bahkan
suaranya pun terbungkam rapat disana, unjuk diri adalah keharaman menurut
mereka. Mereka para santri putri hanya bertugas untuk mengkaji doktrin –
doktrin ajaran islam dengan mendalam hingga pada akhirnya akan terjadi
kesubordinasian yang jelas tampak pada aktifitas – aktifitasnya dimana santri
putri selalu menjadi nomor dua setelah santri putra. Kemudian tak luput pula merambah
pada masa depan para perempuan alumni pesantren itu yakni berujung pada
domestifikasi sebagai implementasi yang akan berbuah kebahagiaan dalam tanda
kutip adalah keberkahan. Doktrin – doktrin pesantren begitu kuat menghegemoni
para perempuan yang bergelar santri ditempat tersebut, ditambah dengan
keharusan menyebarkan pengetahuan yang didapatkannya sebagai bentuk petunjuk
pada orang – orang yang belum mengetahui sehingga menjadi sesuatu yang
dianggapnya akan bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang yang telah diberinya
petunjuk tersebut.
Seberapa kuat
pun para pakar kebebasan, para pakar gender, para pakar feminisme mengkritik
habis segala bentuk ketimpangan gender yang terjadi didalam kehidupan pesantren
sepertinya tidak akan mampu memporak – porandan tatanan kehidupan pesantren
yang selalu mensubordinasi perempuannya, doktrin pesantren telah mengakar kuat
dan mendarah daging didalam jiwa para murid – muridnya yang begitu ta’dhim. Menurutnya
ini semua adalah suatu yang tidak boleh ditentang sebagaimana kaum konservatif,
dimana hal tersebut sudah menjadi suratan takdir bahwa laki – laki akan selalu
menjadi nomor satu sedangkan perempuan akan menjadi pendamping yang berjuang
mati – matian dalam sebuah bius penindasan yang terbungkus oleh doktrin yang
akan terhadiahi sebuah “kebarokahan”. Singkat kata, pesantren merupakan bentuk
ketimpangan luar biasa menurut orang – orang yang tak sependapat dengan sistem
pesantren, sedangkan pesantren merupakan bentuk konstruksi sosial yang paling
adil bagi mereka yang sependapat dengan
sistem pesantren. Masing – masing kedua belah pihak tersebut mempunyai dalil
yang kuat untuk saling menumpaskan dua konsep yang saling bertentangan ini.